Gaya pemerintahan mengelola fiskal mengundang keraguan pengamat. Bahkan, ekonom Faisal Basri memperkirakan bakal ada gejolak kecil yang muncul di akhir tahun nanti.
Agar gejolak tak jadi hadir, dia menyarankan pemerintah menghentikan untuk sementara pembangunan proyek infrastruktur. Tak ada cara lain, sebab upaya ekstra menggenjot pajak untuk membiayai anggaran saat ini bisa kontraproduktif.
Indonesia akan menuju gejolak ekonomi kecil di bulan November nanti. Kata-kata itu keluar dari bibir pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri saat ditanyakan soal pandangannya terhadap kondisi saat ini.
Faisal menyebutkan, tanda-tanda gejolak kecil itu sudah terlihat. Penyebabnya, pemerintah sudah mulai tidak disiplin dalam mengelola fiskal dalam negeri. Banyak aturan dan pakem dalam mengelola fiskal yang ditabrak demi menggulirkan pembangunan proyek infrastruktur.
Padahal, menurut Faisal, proyek infrastruktur itu juga tidak menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung. Kepada wartawan KONTAN Mesti Sinaga, Lamgiat Siringoringo dan Arsy Ani Sucianingsih, Faisal menuturkan pandangannya tentang ekonomi Indonesia dan sulusinya.
Berikut nukilannya:
Bagaimana Anda melihat perekonomian saat ini, setelah tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
FAISAL: Kalau saya lihat bagaimana kita memberikan pandangan, tapi tidak membuat orang kalap. Analisis saya, kita akan mengalami gejolak kecil kira-kira pada bulan November nanti.
Mengapa Anda bisa menyebutkan akan ada gejolak kecil?
FAISAL: Jadi, awalnya itu kalau kamu perhatikan dari bulan ke bulan. Penerimaan pajak selama Januari hingga Maret, setiap bulannya selalu di atas target. Mengapa? Karena ada tax amnesty, tahun lalu tidak ada tax amnesty selama Januari-Maret.
Nah sebenarnya secara riil, sampai sekarang selalu dibawah target. Terutama mulai Juli, Agustus. Terakhir, Agustus, semakin lebar lagi. Jadi akan terjadi shortfall, baik penerimaan pajak dalam arti luas maupun sempit.
Begini, penerimaan pajak dalam artian luas, berarti penerimaan perpajakan termasuk bea cukai, bea keluar, bea masuk dan lainnya. Pajak dalam artian sempit adalah penerimaan pajak yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saja, bea cukai tidak.
Nah dihitung di dua sisi itu, masih ada kemungkinan shortfall yang cukup besar. Dugaan saya sekitar Rp 70 triliun-Rp 100 triliun kekurangannya.
Nah, tapi pemerintah sudah melihat ini dan sudah ancang-ancang, hingga pengeluaran sudah diturunkan. Outlook sudah turun, hingga di range sekitar 3%. Tetapi kalau itu betul shortfall Rp 100 triliun, itu defisit di atas 3% dari produk domestik bruto, kan itu tidak mungkin.
Ini menyebabkan, mau tidak mau, walau waktunya sudah mepet sekali, secepat mungkin pengeluaran infrastruktur dipotong. Tidak ada cara lain.
Tetapi, sejauh ini apakah Anda melihat ada tanda-tanda Presiden Jokowi mengendurkan proyek infrastruktur?
FAISAL: Pertanyaannya memang, apakah Jokowi mau? Selama ini kan tidak mau. Makanya, di situ pertaruhannya. Saya bilang infrastruktur itu bisa dikorbankan demi menjaga kestabilan makro ekonomi.
Standard and Poor’s (S&P) meng-upgrade peringkat kita kan karena strong fiscal policy. Artinya, Pemerintah disiplin dalam menjaga defisit hingga risiko fiskalnya rendah. Nah, risiko fiskal kita bakal meningkat jika tidak mau memotong pengeluaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) kan sudah disetujui, apakah itu artinya akan ada perubahan atas APBN Perubahan?
FAISAL: APBN-P itu kan baru diperlukan kalau semua indikator tidak mencapai target dan plus minus 10%. Misal, pertumbuhan ekonomi di-setting 5%, tetapi ternyata hitungannya mencapai 3%.
Maka saat itu kita butuh APBN-P. Tetapi bukan alasan itu pemerintah melakukan APBN-P kemarin. Pajak diturunkan Rp 26 triliun, tetapi pengeluaran dinaikkan. Ya, otomatis utang di tambah untuk mengakomodasi pengeluaran.
Apa yang belum ada dan diadakan di pengeluaran? Light rapid transit (LRT). Pembiayaan dari APBN untuk LRT memang tidak ada. Tetapi dia masuk melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Pada 2015, PMN ke Adhi Karya Rp 1,4 triliun.
Tahun 2016, PMN tidak turun, tapi LRT harus jalan, Adhi Karya kehabisan duit. Lalu, diakalin. Masuklah PT KAI. Disisipkan di APBN-P Rp 3,6 Triliun untuk KAI. Ini tidak lazim karena KAI itu operator kereta api. Yang harus bangun rel, segala macam, ya pemerintah. Nah ini sudah mulai melanggar pakem.
Lalu, tidak disetujui APBN kemarin Rp 3,6 triliun cuma di kasih Rp 2 triliun, itu datang dari mana? Dari alokasi pembangunan kereta api di Sumatra, pindah ke LRT. Karena ada sisipan itu, maka ada APBN-P.
Artinya, fiskal kita tidak dikelola dengan benar?
FAISAL: Istilah akademisnya disiplin fiskal semakin longgar. Kalau benar nggak, saya tidak bisa judge. Dan disiplin fiskal ini yang menjadi pertimbangan utama kita dapat upgrade dari S&P dan disiplin fiskal itu pula yang kita langgar sekarang.
Nanti risiko kita akan ditinjau kembali, bukan hanya oleh S&P tapi juga oleh lembaga rating yang lain. Kenapa sih, disiplin fiskal jadi penting? Karena rating itu kan kemampuan pemerintah membayar utang.
Bukankah pemerintah masih tetap mampu bayar utang?
FAISAL: Ya, kalau nggak bisa bayar utang sudah default. Ini kan tingkat kesehatan. Misal, saya pendapatan saya Rp 1.000, cicilan saya Rp 700. Ya, saya masih sanggup tetapi nafas sudah megap-megap. Indikator kan bukan sekadar sanggup. Kapasitas sebetulnya itu yang dilihat.
Menurut Anda mengapa disiplin fiskal kita semakin longgar?
FAISAL: Di mata pemerintah saat ini hanya ada satu tahun saja. Yakni tahun 2019. Semua harus selesai tahun 2019. Makanya semua dilanggar. Aturan mengatakan setiap tiga bulan, harga BBM ditinjau.
Tetapi jauh hari Menteri Keuangan sudah menyampaikan, di tahun 2018 tidak ada kenaikan harga BBM, listrik dan elpiji. Tidak apa-apa nggak ada kenaikan, jika subsidi dinaikkan. Yang terjadi, subsidi dinaikkan, tetapi kenaikannya tidak sebesar risk. Pokoknya jika ada apa-apa, Pertamina yang menanggung.
Efek dari Pertamina menanggung ke fiskal adalah keuntungan Pertamina turun. Jika itu terjadi, dividen yang bisa diperoleh negara akan terpangkas. Akhirnya, APBN juga yang kena.
Jadi APBN itu semakin artifisial. subsidi BBM kecil karena di tanggung Pertamina. Soal satu harga, pemerintah boleh menentukan harga BBM gratis. Tetapi selisih antara gratis dan ongkos harus ada di APBN.
Itulah pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat karena ini keputusan politik. Ada akuntabilitasnya. Nah, gara-gara di tanggung Pertamina, tidak ada akuntabilitasnya, jadi makin tidak disiplin.
Seperti apa gejolak kecil yang Anda maksud?
FAISAL: Maksud saya, growth itu akan di bawah 5%, kurs rupiah bisa terpukul. Tetapi itu sebentar, karena Presiden Jokowi sudah kejedot dengan ketidak disiplinannya.
Berarti selama ini Jokowi di-entertain sama menteri-menteri yang tidak benar. Ada reshuffle nanti. Ini very quick. Maka saya bilang ada gejolak kecil. Saya bilang ini waspada fiskal. Apalagi kalau dilihat harga minyak naik terus.
Nah, subsidi tidak dinaikkan, dan harga jadi murah. Kalau harga murah kita tidak peduli, impornya naik. Sekarang defisit minyak Januari–Agustus sudah US$ 9,4 miliar.
Selama Januari-Agustus tahun lalu US$ 6,8 miliar. Defisit ini akan ikut merusak rupiah. Jadi meskipun semester I 2017 lalu surplus neraca perdagangan kita menjadi yang terbesar sejak tahun 2012, namun sebetulnya kita punya masalah di depan mata.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah gejolak kecil yang Anda sebut?
FAISAL: Jalan keluarnya, ya tolong infrastruktur di-reschedule setahun aja. Atau, bagusnya dua tahun, jadi kelar pada 2020. Nggak bikin kiamat, kok. Ongkosnya akan lebih mahal untuk Pak Jokowi kalau terjadi gejolak kecil.
Kalau diteruskan kemungkinan Jokowi tidak mampu, oposisi bisa dibilang akan semakin ugal-ugalan. Walaupun saya katakan, secara politik Jokowi itu makin kuat. DPR kan tidak apa-apa segala macam.
Pemerintah bilang akan melakukan upaya ekstra menggenjot pajak, misalnya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 yang merupakan kelanjutan UU Pengampunan Pajak. Apakah ini bisa membuat target pajak tercapai?
FAISAL: Itu cara sapu jagad. Dengan segala cara, baik PP atau yang lainnya, agar bisa terkejar penerimaan pajaknya. Tapi kalau Pak Jokowi tidak mau infrastrukturnya dipotong, ya dilakukanlah cara-cara sapu jagad itu.
Ibaratnya, induk ayam semakin stres, ya tidak bertelur dia. Induk ayam maksudnya swasta. Padahal, investasi pemerintah cuma 10%. Sisanya, 90% adalah investasi swasta.
Jadi sebanyak 10% diamankan at the cost of 90%. Neto nya pertumbuhan tidak akan tercapai. Kalau tidak ada gejolak saja, pertumbuhan kita cuma 5%. Apalagi kalau muncul gejolak kecil.
Bukankah proyek infrastruktur itu dibutuhkan untuk menggerakan ekonomi?
FAISAL: Jalan yang dibangun itu kan harusnya untuk mengangkut hasil pertanian, hasil tambang. Kalau bangun jalan tol, memang pada saat mudik akan terasa. Bisa dibangga-banggakan. Tetapi itu tidak berefek untuk kegiatan ekonomi.
Contohnya, pembangunan jalan tol Sumatra Rp 80 triliun. Ditender, nggak ada yang mau. Karena tidak ada yang mau, maka ditunjuk Hutama Karya (BUMN).
Anggap saja jalan tol itu jadi. Jeruk brastagi bisa dibawa ke Jakarta pakai truk. Kelihatannya hebat. Truk itu bisa membawa 10 ton. Jeruk dijual dengan harga Rp 40.000 per kg. (Tapi) Dibandingkan jeruk dari China yang diangkut lewat laut, sampai sini bisa Rp 20.000 per kg karena ongkos angkutnya murah (ongkos laut jauh lebih murah dibanding transportasi darat -red).
Jadi untuk menurunkan biaya logistik, bisa dengan cara memindahkan moda dari darat ke laut. Ongkos logistik darat itu 10 kali lebih mahal daripada laut.
Menurut Anda mengapa Jokowi tak mengutamakan infrastruktur laut?
FAISAL: Karena nggak ngefek ke Pemilu. Kan yang memilih rakyat, bukan barang. Jokowi tidak bisa mengandalkan partai. Jadi dia musti berjalan sendiri. Sekarang kita tinggal yakinkan Jokowi bahwa akan lebih bagus kalau kita bisa keluar dari gejolak ekonomi kecil.
Bayangkan kalau Pak Jokowi kalah dalam pemilihan presiden. Duit triliunan dalam proyek infrastruktur hilang karena semuanya terhenti. Makanya, saya kirim surat terbuka ke Jokowi. Sudah sampai di Istana. tetapi saya nggak tahu dibaca atau tidak.
Proyek apa saja yang bisa direschedule?
FAISAL: Saya kurang paham. Tetapi kalau bisa, jadwal ulang lebih cepat, lebih bagus. Misal PMN untuk KAI bisa stop. Jalan tol Sumatra bisa distop. Tidak akan kiamat, kok. Sudah ada trans Sumatra High Way. Padahal jalan itu rusak tidak dipelihara oleh negara karena ada pos anggaran itu. Bukannya diperbaiki, malah dibuat baru.
Apa tidak ada risiko politik kalau proyek infrastruktur yang menjadi andalan itu kemudian di-reschedule?
Faisal: Ongkosnya lebih besar kalau benar terjadi gejolak kecil yang saya bilang tadi.
Sumber: KONTAN
0 Response to "Faisal Basri: Infrastruktur Yang Dipaksakan Akan Jadi Bumerang Bagi Jokowi"
Posting Komentar